Rabu, 02 Desember 2009

PENANGGULANGAN RABIES BERBASIS DESA PAKRAMAN DI BALI

Telah dimuat di Bali Post tgl 19 November 2009


PENANGGULANGAN RABIES BERBASIS DESA PAKRAMAN
DI BALI

Oleh : Sang Gede Purnama

Upaya penanggulangan rabies bukanlah tanggung jawab pemerintah saja melainkan seluruh masyarakat. Keterlibatan desa pakraman dalam hal ini sangatlah diperlukan dimana lembaga adat dapat berperan serta langsung dalam eliminasi anjing, pemberian VAR dan pembuatan awig-awig cukup mendukung suksesnya program ini.
Perkembangan penyakit rabies semakin hari semakin mengkhawatirkan keadaannya. Jumlah korbannya terus bertambah dan wilayah penyebarannya juga terus meluas. Apa yang telah kita lakukan ternyata masih belum bisa mewujudkan provinsi bali terbebas dari rabies. Sebelumnya kita dikenal sebagai kawasan bebas rabies namun dengan berjalannya waktu ternyata kawasan kita telah kemasukan hewan pembawa virus rabies.
Virus rabies sebenarnya dapat dibawa oleh anjing, kucing, dan kera. Dimana potensi terbesar saat ini disebarkan oleh anjing. Penularannya melalui gigitan hewan pembawa virus rabies dan termasuk zoonosis (penyakit hewan yang dapat menular kemanusia). Penyakit rabies dapat menyebabkan kematian sehingga perlu penanganan serius terhadap penyakit ini.
Justru yang membedakan Provinsi Bali dengan daerah lainnya adalah kepemilikan anjing tersebut. Anjing populasinya sangat banyak di Provinsi Bali dibandingkan daerah lainnya, Anjing tersebut sering dilepaskan oleh pemiliknya (diliarkan), Pemilik anjing tidak terdata dan jarang anjing yang divaksin. Disamping itu anjing bagi masyarakat bali sebagai penjaga rumah sehingga hampir setiap rumah berisi anjing. Diperkirakan hanya diperlukan seekor anjing dalam masa inkubasi untuk menularkan rabies di Bali. Populasi anjing yang tinggi (500.000-600.000 ekor) di Bali merupakan media yang efektif sebagai penyebaran rabies.
Sebagai daerah pariwisata dunia yang sebagian besar masyarakatnya tergantung pada sektor pariwisata. Bali juga dapat mengalami kerugian yang besar apabila terjadi wabah rabies. Industri pariwisata umumnya sensitif terhadap masalah yang terjadi khususnya masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 2004 saja, Bali kedatangan hampir 1,5 juta wisatawan asing. Menurut survey Dinas Pariwisata Bali, wisatawan asing tersebut rata-rata tinggal selama 11 hari dengan pengeluaran per wisatawan per hari sebesar Rp 550.000,00. Berarti pada tahun 2004, jumlah uang yang masuk dari para wisatawan asing yang berlibur di Bali diperkirakan sebesar Rp9.075 trilyun (Rp550.000,00 dikali 11 hari, dikali 1,5 juta orang). Itu artinya dampak tidak langsung yang ditimbulkan cukup besar dimana akan dirasakan juga oleh pelaku pariwisata dimana terdapat perhotelan, agen perjalanan wisata, transportasi, restoran, objek wisata, kerajinan tangan atau cinderamata, dan pelaku bisnis.
Kondisi sosial budaya masyarakat yang suka memelihara anjing juga harus dibarengi dengan perawatannya. Masalah justru timbul karena banyak anjing peliharaan yang sengaja diliarkan oleh pemiliknya tanpa ada perawatan dan vaksinasi. Hal ini dapat menjadi faktor pendukung penyebaran rabies semakin cepat karena padatnya populasi anjing di Bali. Apalagi kalau nantinya ada monyet di Sangeh atau Alas Kedaton terkena rabies maka keadaannya akan semakin parah saja. Hal itu dapat menyebabkan kawasan wisata itu hanya tinggal nama karena semua monyet harus dieliminasi dari tempat itu.
Bagaimana upaya penanggulangan rabies selama ini ?. Dinas Perternakan dan Dinas Kesehatan saling berkordinasi dalam upaya menangani masalah ini. Eliminasi anjing terus dilakukan namun memang masih kurang efektif terutama didaerah yang diketahui ada anjing positif rabies karena masih saja ada perlawanan dari masyarakat disamping tidak semua anjing dapat dieliminasi. Beberapa korban dengan riwayat gigitan anjing dan positif rabies juga sudah ada meninggal sejak setahun lalu hingga kini. Pemberian vaksin anti rabies (VAR) pada anjing masih terbatas dilakukan dengan berbagai alasan. Rabies sepertinya menjadi bom waktu bagi masyarakat kita maka dukungan dan peran serta masyarakatlah yang diperlukan dalam penanganan masalah ini.
Pengawasan terhadap binatang penular rabies masuk ke Bali kini mulai diperketat. Namun demikian potensi masuknya hewan penular rabies dapat saja terjadi. Disamping sudah ada anjing yang pembawa virus rabies berkeliaran di provinsi ini. Anjing tersebut dapat saja sudah tertular namun belum menunjukan gejala rabies sehingga dapat masuk ke Provinsi Bali dan menyebarkan virusnya.
Permasalahannya menjadi begitu kompleks karena upaya eliminasi yang masih terbatas, VAR pada anjing juga tidak kontiniue dilakukan, banyak anjing yang tidak terdata dimasing-masing wilayah, Banyaknya populasi anjing liar dan belum diterapkannya sistem yang komprehensif dalam penanganan masalah ini. Oleh sebab itulah harus ada langkah-langkah yang serius dan berkesinambungan dalam penanganan masalah ini.


Penanggulangan rabies berbasis desa pakraman
Sistem penanggulangan rabies berbasis desa pakraman adalah salah satu opsi yang dipandang cukup efektif karena sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat bali. Upaya penanganan suatu penyakit dengan pendekatan sosial-budaya sangat penting. Peran serta semua pihak dalam upaya penanganan masalah ini diperlukan. Sementara ini yang terjadi adalah pemerintah dengan dinas perternakan dan kesehatan yang lebih banyak bekerja. Dengan jumlah tenaga dan anggaran yang terbatas mereka kesulitan untuk melaksanakan program diwilayah Bali yang luas dengan berbagai macam kondisinya.
Adapun sistem penanggulangan rabies berbasis masyarakat tersebut dimana peranan lembaga pemerintah dan lembaga sosial masyarakat saling bekerjasama. Dinas perternakan berkordinasi dengan dinas kesehatan dimana Puskesmas dan Puskeswan bekerjasama langsung dengan lembaga masyarakat seperti Desa Pakraman. Desa Pakraman selanjutnya berkomunikasi dengan Banjar Adat. Peranan banjar adat inilah sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Dimana eliminasi anjing liar dilakukan oleh pecalang. Kemudian Kasinoman melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap anjing yang dimiliki warga termasuk munculnya anjing baru yang tidak jelas kepemilikannya di lingkungan desa dilakukan pendataan. Kader Kesehatan yang terlatih diminta sebagai tenaga promosi kesehatan dan apabila diperlukan dapat dilatih menjadi tenaga yang memberikan Vaksin Anti Rabies (VAR) pada anjing dan anjing yang telah mendapat VAR diberikan tanda. Seka Truna-truni juga dapat berperan aktif sebagai tenaga promosi kesehatan dalam upaya penanggulangan rabies.
Peranan tokoh-tokoh masyarakat sebagai agen perubahan (agent of change) juga diperlukan. Merekalah yang diharapkan mampu memberi informasi yang baik dan benar kemudian menggerakan masyarakat menjalankan program yang telah disepakati. Sehingga program penanggulangan rabies dapat berjalan dengan baik.
Dibeberapa daerah ada yang menerapkan awig-awig (peraturan adat yang disepakati bersama) dimana masyarakat yang memiliki anjing yang sengaja diliarkan dan menggigit korban maka si pemilik diminta mengganti biaya pengobatan bahkan sampai upacara kematian dan akan diberi denda sesuai aturan yang disepakati. Hal ini bertujuan agar masyarakat tersebut menjaga anjingnya dengan baik dan tidak melepaskan begitu saja tanpa perawatan. Pemilik anjing berkewajiban memberi vaksin pada anjingnya dan merawatnya. Apabila ada anjing liar yang tidak jelas kepemilikannya sebaikny dieliminasi.
Penerapaan peraturan adat (awig-awig) yang disepakati bersama oleh masyarakat dipandang lebih efektif sebagai upaya melakukan pengawasan terhadap anjing liar dan penanggulangan rabies. Di beberapa daerah pembuatan awig-awig ini telah dilaksanakan. Anggota masyarakat yang memiliki anjing yang tadi diliarkan dan tidak terpelihara dengan baik kini mulai melakukan pengawasan dan pemeliharaan.
Sebenarnya banyak potensi organisasi masyarakat yang dapat digerakan dalam mendukung program ini seperti IAKMI, PHDI, LSM, Universitas, dan lainnya. Inilah bentuk peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan rabies. Permasalahan rabies adalah masalah kita semua jadi sudah sepantasnya kita semua berperan serta dalam penanggulangannya.

Penulis adalah Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Provinsi Bali