Sabtu, 18 Juni 2016

BAHAYA MEROKOK

 

 

 

Rokok dan Kematian

Rokok merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia dan merupakan satu-satunya produk legal yang membunuh seperti hingga setengah penggunannya. Survey Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia tahun 2007 menyebutkan setiap jam sekitar 46 orang meninggal dunia karena penyakit yang berhubungan dengan merokok di Indonesia.
Kebiasaan merokok sedikitnya menyebabkan 30 jenis penyakit pada manusia.  Penyakit yang timbul akan tergantung dari kadar zat berbahaya yang terkandung, kurun waktu kebiasaan merokok, dan cara menghisap rokok. Semakin muda seseorang mulai merokok, makin besar risiko orang tersebut mendapat penyakit  saat tua.

Mengapa Rokok Berbahaya?

Dalam satu batang rokok mengandung sekitar 7.000 zat kimia, 200 jenis diantaranya bersifat karsinogenik, yaitu zat yang merusak gen dalam tubuh sehingga memicu terjadinya kanker, seperti kanker paru, emfisema, dan bronkitis kronik. Atau juga kanker lain, seperti kanker nasofarings, mulut, esofagus, pankreas, ginjal, kandung kemih, dan rahim. Aterosklerosis atau pangerasan pembuluh darah bisa menyebabkan penyakit jantung, hipertensi, risiko stroke, menopause dini, osteoporosis, kemandulan, dan impotensi.
Racun rokok terbesar dihasilkan oleh asap yang mengepul dari ujung rokok yang sedang tak dihisap. Sebab asap yang dihasilkan berasal dari pembakaran tembakau yang tidak sempurna.  Asap rokok mengandung sejumlah zat yang berbahaya seperti benzen, nikotin, nitrosamin, senyawa amin, aromatik, naftalen, ammonia, oksidan sianida, karbon monoksida benzapirin, dan lain-lain. Partikel ini akan mengendap di saluran napas dan sangat berbahaya bagi tubuh. Endapan asap rokok juga mudah melekat di benda- benda di ruangan dan bisa bertahan sampai lebih dari 3 tahun, dengan tetap berbahaya.

Bahaya Perokok Pasif

Perokok pasif lebih berbahaya dibandingkan perokok aktif. Bahkan bahaya perokok pasif tiga kali lipat dari bahaya perokok aktif. Dokter Budhi Antariksa, Spesialis Paru dari Rumah Sakit Royal Taruma mengatakan, sebanyak 25 persen zat berbahaya yang terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75 persennya beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekitarnya.
Konsentrasi zat berbahaya di dalam tubuh perokok pasif lebih besar karena racun yang terhisap melalui asap rokok perokok aktif tidak terfilter. Sedangkan racun rokok dalam tubuh perokok aktif terfilter melalui ujung rokok yang dihisap. Namun konsentrasi racun perokok aktif bisa meningkat jika perokok aktif kembali menghirup asap rokok yang ia hembuskan. “Namun karena perokok aktif sekaligus menjadi perokok pasif maka dengan sendirinya risiko perokok aktif jauh lebih besar daripada perokok pasif,”  ujar dr.Budhi Antariksa.
Selain itu, berbagai hasil penelitian juga menyimpulkan  perokok wanita berisiko 25 persen lebih tinggi daripada perokok pria. Perokok wanita memiliki risiko ganda terhadap penyakit jantung dan kanker paru-paru bila dibandingkan dengan perokok pria. Penyebabnya karena wanita memiliki berat badan dan saluran darah yang lebih kecil dari pria.
Bahaya merokok pada wanita antara lain: Merusak kulit, mengganggu sistem reproduksi, menganggu siklus menstruasi termasuk timbulnya rasa nyeri, menurunkan kesuburan, meningkatkan risiko terkena kanker payudara, rahim, dan kanker paru-paru, menganggu  pertumbuhan janin dalam rahim, menganggu kelancaran ASI, keguguran, hingga kematian janin.

Kiat Berhenti Merokok

  1. Niatlah sungguh-sungguh bahwa Anda berhenti merokok
  2. Umumkan pada orang-orang di sekitar bahwa Anda akan berhenti merokok dan mintalahdukungan mereka.
  3. Jauhilah lingkungan para perokok.
  4. Carilah aktivitas yang berguna bagi tubuh
  5. Bawalah selalu permen kemanpun Anda pergi.
Rokok merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang dapat dicegah. Sebelum terlambat, berhentilah merokok demi diri Anda dan orang-orang di sekitar Anda.

Selasa, 14 Juni 2016

PELAKSANAAN UJI KOMPETENSI SKM AGUSTUS 2016


UJI KOMPETENSI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT



TUJUAN UJI KOMPETENSI SKM

Sebagai upaya standarisasi kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat di Indonesia diperlukan uji kompetensi secara nasional yang nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu penilaian terhadap mutu penyelenggaraan Pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat. Uji Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia(UKSKMI) dikembangkan dan diselenggarakan sebagai pemenuhan amanat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yangkemudian diikuti oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 83 Tahun2013 tentang Sertifikat Kompetensi dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan MenteriPendidikan dan Kebudayaan Nomor 36 Tahun 2013 dan Nomor 1/IV/PB/2013 tentang Uji Kompetensi bagi Mahasiwa Perguruan Tinggi Bidang Kesehatan Uji kompetensi lulusan adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap lulusan sarjana kesehatan masyarakat sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan. Sarjana kesehatan masyarakat memliki 8 kompetensi yaitu:
1. Kemampuan untuk melakukan kajian dan analisa (Analysis and Assessment ).
2. Kemampuan untuk mengembangkan kebijakan dan prerencanaan program kesehatan(Policy development and program planning)
3. Kemampuan untuk melakukan komunikasi (Communication skill)
4. Kemampuan untuk memahami budaya local (Cultural competency/local wisdom).
5. Kemampuan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat (Community dimensions of practice)
6. Memahami dasar-dasar ilmu kesehatan masyarakat (Basic public health sciences).
7. Kemampuan untuk merencanakan dan mengelola sumber dana (Financial planning andmanagement).
8. Kemampuan untuk memimpin dan berfikir sistim (Leadership and systemsthinking/total system)
Peserta  uji coba UKSKMI akan memperoleh Sertifikat Kompetensi. • Sertifikat Kompetensi ditanda tangani oleh pimpinan PT penyelenggara dan Ketua organisasi profesi (IAKMI) • Sertifikat kelulusan akan dikirim ke MTKI dan dikirim ke KeMenKes untuk diregistrasi dan dikeluarkan STR.



Pengendalian DBD dengan 3M plus





Sepanjang Januari 2016 Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan mencatat 3.298 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 50 kasus di Indonesia. Sementara di daerah KLB tercatat 492 kasus, 25 kasus diantaranya meninggal. KLB terjadi di 11 Kabupaten/Kota di 7 Provinsi.

Dalam penanganan DBD, peran serta masyarakat untuk menekan kasus ini sangat menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus perlu terus dilakukan secara berkelanjutan sepanjang tahun khususnya pada musim penghujan. Program PSN , yaitu: 1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain 2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah.

Adapun yang dimaksud dengan 3M Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan seperti 1) Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan; 2) Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk; 3) Menggunakan kelambu saat tidur; 4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk; 5) Menanam tanaman pengusir nyamuk, 6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah; 7) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk, dan lain-lain.

PSN perlu ditingkatkan terutama pada musim penghujan dan pancaroba, karena meningkatnya curah hujan dapat meningkatkan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD, sehingga seringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) terutama pada saat musim penghujan.

Selain PSN 3M Plus, sejak Juni 2015 Kemenkes sudah mengenalkan program 1 rumah 1 Jumantik (juru pemantau jentik) untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan akibat Demam Berdarah Dengue. Gerakan ini merupakan salah satu upaya preventif mencegah Demam Berdarah Dengue (DBD) dari mulai pintu masuk negara sampai ke pintu rumah.

Terjadinya KLB DBD di Indonesia berhubungan dengan berbagai faktor risiko, yaitu: 1) Lingkungan yang masih kondusif untuk terjadinya tempat perindukan nyamuk Aedes; 2) Pemahaman masyarakat yang masih terbatas mengenai pentingnya pemberantasan sarang nyamuk (PSN)  3M Plus; 3) Perluasan daerah endemic akibat perubahan dan manipulasi lingkungan yang etrjadi karena urbanisasi dan pembangunan tempat pemukiman baru; serta 4) Meningkatnya mobilitas penduduk.

Untuk mengendalikan kejadian DBD, Kementerian Kesehatan terus berkoordinasi dengan Daerah terutama dalam pemantauan dan penggiatan surveilans DBD. Selain itu,  bantuan yang diperlukan Daerah juga telah disiagakan untuk didistribusikan.


Sepanjang Januari 2016 Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan mencatat 3.298 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 50 kasus di Indonesia. Sementara di daerah KLB tercatat 492 kasus, 25 kasus diantaranya meninggal. KLB terjadi di 11 Kabupaten/Kota di 7 Provinsi.

Dalam penanganan DBD, peran serta masyarakat untuk menekan kasus ini sangat menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus perlu terus dilakukan secara berkelanjutan sepanjang tahun khususnya pada musim penghujan. Program PSN , yaitu: 1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain 2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah.

Adapun yang dimaksud dengan 3M Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan seperti 1) Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan; 2) Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk; 3) Menggunakan kelambu saat tidur; 4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk; 5) Menanam tanaman pengusir nyamuk, 6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah; 7) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk, dan lain-lain.

PSN perlu ditingkatkan terutama pada musim penghujan dan pancaroba, karena meningkatnya curah hujan dapat meningkatkan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD, sehingga seringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) terutama pada saat musim penghujan.

Selain PSN 3M Plus, sejak Juni 2015 Kemenkes sudah mengenalkan program 1 rumah 1 Jumantik (juru pemantau jentik) untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan akibat Demam Berdarah Dengue. Gerakan ini merupakan salah satu upaya preventif mencegah Demam Berdarah Dengue (DBD) dari mulai pintu masuk negara sampai ke pintu rumah.

Terjadinya KLB DBD di Indonesia berhubungan dengan berbagai faktor risiko, yaitu: 1) Lingkungan yang masih kondusif untuk terjadinya tempat perindukan nyamuk Aedes; 2) Pemahaman masyarakat yang masih terbatas mengenai pentingnya pemberantasan sarang nyamuk (PSN)  3M Plus; 3) Perluasan daerah endemic akibat perubahan dan manipulasi lingkungan yang etrjadi karena urbanisasi dan pembangunan tempat pemukiman baru; serta 4) Meningkatnya mobilitas penduduk.

Untuk mengendalikan kejadian DBD, Kementerian Kesehatan terus berkoordinasi dengan Daerah terutama dalam pemantauan dan penggiatan surveilans DBD. Selain itu,  bantuan yang diperlukan Daerah juga telah disiagakan untuk didistribusikan.
- See more at: http://www.depkes.go.id/article/view/16020900002/kendalikan-dbd-dengan-psn-3m-plus.html#sthash.rCBq4os1.dpuf

Kamis, 07 April 2016

PENTINGNYA PERAN SKM UNTUK NEGERI








Oleh Agus Samsudrajat, SKM



LAHIRNYA Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) di Indonesia seakan menjadi nafas baru bahkan inspirasi bagi dunia akan kebuntuan masalah kesehatan melalui inovasi tenaga Kesehatan mewujudkan cita cita bangsa melalui paradigma sehat. Fokus paradigma sehat sesuai rencana pembangunan jangka menengah nasional (2015-2024) adalah meningkatkan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Promotif merupakah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan (menjaga/mengupayakan untuk tetap atau kembali hidup sehat). Sedangkan preventif merupakan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.

Hal tersebut menjadi salah satu dasar SKM dilahirkan sebagai tenaga kesehatan khusus yang fokus utamanya upaya promotif dan preventif. Sedikitnya 4 tahun SKM dibekali ilmu dan seni (praktek belajar langsung di masyarakat) untuk mencegah/memberantas penyakit, meningkatkan efisiensi hidup masyarakat melalui upaya kelompok-kelompok masyarakat terkoordinasi, perbaikan kesehatan lingkungan, dan melakukan pendidikan kesehatan untuk masyarakat/perorangan melalui pemberdayaan masyarakat. Sehingga SKM merupakan tenaga khusus yang secara fungsi bertanggung jawab terhadap seluruh masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit. Hanya fokus utamanya pada upaya kesehatan masyarakat melalui promotif dan preventif. Berbeda dengan tenaga medis (dokter, perawat, bidan) yang fokus dan fungsi utamanya pada upaya kesehatan perorangan melalui upaya kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan/perbaikan). Media nasional 18 april 2015 lalu pernah meliput seorang dokter puskesmasdi Kabupaten Kapuas Hulu, mengatakan bahwa “pihak yang paling tepat menjadi koordinator dalam upaya promotif dan preventif adalah sarjana kesehatan masyarakat (SKM), namun tenaga kesehatan masyarakat belum ada di puskesmas itu”.

Produksi dan peminat SKM saat ini tersebar di berbagai Pulau, Provinsi, Kota bahkan hingga ke pelosok Kabupaten kecil dan perbatasan negeri yang totalnya sudah mencapai lebih dari 170 bahkan mendekati 200 perguruan tinggi. Bayangkan jika tiap tahun 170 kampus meluluskan 100 SKM saja, maka setiap tahun bangsa ini memiliki 17.000 SKM siap pakai. Hal tersebut menjadi bukti sekaligus jawaban awal dan dasar bahwa SKM telah terbukti memiliki posisi dan peran penting di masyarakat dan pelayanan kesehatan. Sangat disayangkan jika potensi besar itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Meskipun sekilas pentingnya posisi dan peran SKM sebagai tenaga kesehatan baru sampai pada tataran niat pengadaan dan produksinya saja.

Kewajiban bangsa dan kita bersama bahwa pentingnya posisi dan peran SKM juga baiknya diimbangi dengan meningkatnya upaya pemberdayaan atau pendayagunaan SKM sebagaimana mestinya yaitu sebagai tenaga kesehatan masyarakat. Amanah besar dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan dan UU Tenaga Kesehatan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan (SKM) baik dalam jumlah, jenis, maupun kompetensi secara adil dan merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan kesehatan.

Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2005 baik di daerah tertinggal maupun tidak tertinggal menyimpulkan bahwa belum optimalnya pendayagunaan tenaga kesehatan (termasuk SKM sebagai tenaga kesmas) presentasi tertinggi ada pada masalah terbatasnya formasi, kemudian masalah dana yang terbatas dan masalah regulasi.

Bahkan dalam laporan kajian perencanaan kebijakan tenaga kesehatan bapenas 2005, sasaran rasio SKM per penduduk mencapai  49 SKM/100.000 penduduk. Hal itu berarti pemerintah memiliki target pada tahun 2010 setiap dua ribu empat puluhan (2.040 an) minimal ada satu (1) SKM sebagai tenaga kesehatan masyarakat. Sesuai dengan amanah UU desa bahwa jumlah penduduk untuk Jawa setidaknya paling sedikit 6000 penduduk. Artinya jika pakai target rasio SKM/penduduk yang sama seperti tahun 2010 (49 SKM/100.000 penduduk) dengan batasan wilayah Desa, maka sedikitnya ada tiga (3) SKM yang ditugaskan dalam satu Desa dengan perkiraan 6.120 penduduk. Faktanya beberapa Desa di Jawa ada yang memiliki jumlah penduduk 17.000-19.000 penduduk setiap satu desanya.

Jika satu desa (-+ 6.120 penduduk) memiliki 3 SKM dan diketahui data jumlah desa ada 72.944 desa dan 8.309 kelurahan (permendagri no.18 th 2013). maka setidaknya kebutuhan SKM di Indonesia merupakan hasil penjumlahan total desa dan kelurahan yaitu 72.944+8.309 = 81.253 desa/kelurahan dikali (X) 3 SKM = 243.759 SKM. Dengan demikian jika memakai target rasio SKM 49/100.000, kebutuhan SKM mencapai 243.759 SKM. Perhitungan tersebut didasarkan bahwa seluruh desa dan kelurahan memiliki penduduk yang sama. Faktanya setiap desa dan kelurahan di seluruh indonesia memiliki jumlah penduduk yang berbeda.

Sehingga untuk memenuhi target tersebut disarankan kepada seluruh pihak penentu kebijakan khususnya pemerintah daerah dari level provinsi sampai Desa untuk bisa bersinergi menyesuaikan target rasio SKM/penduduk (49/100.000) disetiap desa dan kelurahan di daerah masing masing (Provinsi, Kabupaten/Kota) dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dalam satu desa dan kelurahan.
Apalagi dengan hadirnya UU Desa tahun 2014 menjadi sebuah suntikan harapan dan kekuatan baru bagi Desa untuk menguatkan sistem pembangunan Desa. Amanah UU desa secara jelas dan tegas mengatakan bahwa pembangunan desa bidang kesehatan seperti pengelolaan Pos Kesehatan Masyarakat Desa, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, posyandu dan pemberdayaan masyarakat menjadi sebuah tanggung jawab pemerintah desa sekaligus menjadi amanah bersama pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keilmuanya, tentu tugas dan peran utama SKM di Desa/Kelurahan adalah fokus pada upaya kesehatan masyarakat melalui upaya-upaya promotif preventif di desa dan kelurahan. SKM sebagai tenaga kesehatan wajib dan pokok di puskesmas dan pos kesehatan desa atau pos UKM Desa dan kelurahan sebagaimana yang sudah tetapkan di DKI jakarta dan Kabupaten Wonosobo melalui peraturan daerah (perda). Peran SKM di desa dan kelurahan sebagaimana dalam perda yang ada di DKI dan Wonosobo tentang Sistem Kesehatan Daerah, SKM sebagai sebagai ahli kesehatan masyarakat dapat berperan mendesain sistem pembangunan desa terutama bidang kesehatan, sebagai pembina dan pendamping pemberdayaan kader kesehatan dan masyarakat, tenaga/ahli surveilans, promosi kesehatan, gizi masyarakat, sanitarian, administrasi kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja.

Hadirnya Permenkes 33 tahun 2015 tentang pedoman penyusunan perencanaan kebutuhan sumber daya manusia kesehatan menjadi alternatif rujukan baru terkait target rasio tenaga kesehatan per penduduk. Kebijakan baru tersebut mengubah target yang sebelumnya  tahun 2010 rasio SKM 49/100.000 menjadi 16/100.000 tahun 2019. Kalaupun dihitung-hitung kembali rasio SKM 16/100.000 maka 1 SKM paling tidak untuk 6.250 penduduk. Artinya jika pakai standar minimal dalam UU Desa jumlah desa minimal 6000 an penduduk maka satu desa setidaknya memiliki 1 SKM.

Tetapi kebijakan tahun 2015 tersebut sebaiknya tidak dijadikan alternatif rekomendasi utama, karena khusus untuk SKM target rasio per penduduk kurang sejalan dengan kajian, studi dan referensi nasional maupun internasional bahwa keberhasilan pembangunan kesehatan (selain pembiayaan) 80% ditentukan oleh tenaga kesehatan baik jenis maupun jumlahnya yang dapat berdampak positif bagi kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Justru yang sebaiknya menjadi rekomendasi pertama ialah target rasio SKM adalah 49/100.000. Hal tersebut sejalan dengan rekomendasi badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) tahun 2010 dalam laporan yang berjudul “The World Health Organization 2010 Global Policy Recommendations – Increasing access to health workers in remote and rural areas through improved retention”yaitu untuk memberdayakan berbagai jenis tenaga kesehatan di daerah.

Fakta dilapangan antara jenis dan jumlah tenaga kesehatan masih belum seimbang, dan justru beberapa jenis profesi tertentu masih menjadi prioritas. Hal inilah yang perlu dibenahi bersama, karena sejatinya tidak ada tenaga kesehatan yang paling signifikan, dan semua tenaga kesehatan memiliki kontribusinya sesuai bidang keilmuanya. Atas dasar latar belakang tersebut program minimal satu SKM satu Desa/Kelurahan untuk Indonesia Sehat masih harus terus diperjuangkan bersama dan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkan rencana mulia pembangunan bangsa yang masih tertunda.


*) Team Public Health 2.0 PERSAKMI
(Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia)