Oleh Agus Samsudrajat, SKM
LAHIRNYA Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) di Indonesia seakan menjadi nafas baru bahkan inspirasi bagi dunia akan kebuntuan masalah kesehatan melalui inovasi tenaga Kesehatan mewujudkan cita cita bangsa melalui paradigma sehat. Fokus paradigma sehat sesuai rencana pembangunan jangka menengah nasional (2015-2024) adalah meningkatkan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Promotif merupakah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan (menjaga/mengupayakan untuk tetap atau kembali hidup sehat). Sedangkan preventif merupakan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.
Hal tersebut menjadi salah satu dasar SKM dilahirkan sebagai tenaga kesehatan khusus yang fokus utamanya upaya promotif dan preventif. Sedikitnya 4 tahun SKM dibekali ilmu dan seni (praktek belajar langsung di masyarakat) untuk mencegah/memberantas penyakit, meningkatkan efisiensi hidup masyarakat melalui upaya kelompok-kelompok masyarakat terkoordinasi, perbaikan kesehatan lingkungan, dan melakukan pendidikan kesehatan untuk masyarakat/perorangan melalui pemberdayaan masyarakat. Sehingga SKM merupakan tenaga khusus yang secara fungsi bertanggung jawab terhadap seluruh masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit. Hanya fokus utamanya pada upaya kesehatan masyarakat melalui promotif dan preventif. Berbeda dengan tenaga medis (dokter, perawat, bidan) yang fokus dan fungsi utamanya pada upaya kesehatan perorangan melalui upaya kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan/perbaikan). Media nasional 18 april 2015 lalu pernah meliput seorang dokter puskesmasdi Kabupaten Kapuas Hulu, mengatakan bahwa “pihak yang paling tepat menjadi koordinator dalam upaya promotif dan preventif adalah sarjana kesehatan masyarakat (SKM), namun tenaga kesehatan masyarakat belum ada di puskesmas itu”.
Produksi dan peminat SKM saat ini tersebar di berbagai Pulau, Provinsi, Kota bahkan hingga ke pelosok Kabupaten kecil dan perbatasan negeri yang totalnya sudah mencapai lebih dari 170 bahkan mendekati 200 perguruan tinggi. Bayangkan jika tiap tahun 170 kampus meluluskan 100 SKM saja, maka setiap tahun bangsa ini memiliki 17.000 SKM siap pakai. Hal tersebut menjadi bukti sekaligus jawaban awal dan dasar bahwa SKM telah terbukti memiliki posisi dan peran penting di masyarakat dan pelayanan kesehatan. Sangat disayangkan jika potensi besar itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Meskipun sekilas pentingnya posisi dan peran SKM sebagai tenaga kesehatan baru sampai pada tataran niat pengadaan dan produksinya saja.
Kewajiban bangsa dan kita bersama bahwa pentingnya posisi dan peran SKM juga baiknya diimbangi dengan meningkatnya upaya pemberdayaan atau pendayagunaan SKM sebagaimana mestinya yaitu sebagai tenaga kesehatan masyarakat. Amanah besar dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan dan UU Tenaga Kesehatan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan (SKM) baik dalam jumlah, jenis, maupun kompetensi secara adil dan merata untuk menjamin keberlangsungan pembangunan kesehatan.
Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2005 baik di daerah tertinggal maupun tidak tertinggal menyimpulkan bahwa belum optimalnya pendayagunaan tenaga kesehatan (termasuk SKM sebagai tenaga kesmas) presentasi tertinggi ada pada masalah terbatasnya formasi, kemudian masalah dana yang terbatas dan masalah regulasi.
Bahkan dalam laporan kajian perencanaan kebijakan tenaga kesehatan bapenas 2005, sasaran rasio SKM per penduduk mencapai 49 SKM/100.000 penduduk. Hal itu berarti pemerintah memiliki target pada tahun 2010 setiap dua ribu empat puluhan (2.040 an) minimal ada satu (1) SKM sebagai tenaga kesehatan masyarakat. Sesuai dengan amanah UU desa bahwa jumlah penduduk untuk Jawa setidaknya paling sedikit 6000 penduduk. Artinya jika pakai target rasio SKM/penduduk yang sama seperti tahun 2010 (49 SKM/100.000 penduduk) dengan batasan wilayah Desa, maka sedikitnya ada tiga (3) SKM yang ditugaskan dalam satu Desa dengan perkiraan 6.120 penduduk. Faktanya beberapa Desa di Jawa ada yang memiliki jumlah penduduk 17.000-19.000 penduduk setiap satu desanya.
Jika satu desa (-+ 6.120 penduduk) memiliki 3 SKM dan diketahui data jumlah desa ada 72.944 desa dan 8.309 kelurahan (permendagri no.18 th 2013). maka setidaknya kebutuhan SKM di Indonesia merupakan hasil penjumlahan total desa dan kelurahan yaitu 72.944+8.309 = 81.253 desa/kelurahan dikali (X) 3 SKM = 243.759 SKM. Dengan demikian jika memakai target rasio SKM 49/100.000, kebutuhan SKM mencapai 243.759 SKM. Perhitungan tersebut didasarkan bahwa seluruh desa dan kelurahan memiliki penduduk yang sama. Faktanya setiap desa dan kelurahan di seluruh indonesia memiliki jumlah penduduk yang berbeda.
Sehingga untuk memenuhi target tersebut disarankan kepada seluruh pihak penentu kebijakan khususnya pemerintah daerah dari level provinsi sampai Desa untuk bisa bersinergi menyesuaikan target rasio SKM/penduduk (49/100.000) disetiap desa dan kelurahan di daerah masing masing (Provinsi, Kabupaten/Kota) dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dalam satu desa dan kelurahan.
Apalagi dengan hadirnya UU Desa tahun 2014 menjadi sebuah suntikan harapan dan kekuatan baru bagi Desa untuk menguatkan sistem pembangunan Desa. Amanah UU desa secara jelas dan tegas mengatakan bahwa pembangunan desa bidang kesehatan seperti pengelolaan Pos Kesehatan Masyarakat Desa, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, posyandu dan pemberdayaan masyarakat menjadi sebuah tanggung jawab pemerintah desa sekaligus menjadi amanah bersama pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keilmuanya, tentu tugas dan peran utama SKM di Desa/Kelurahan adalah fokus pada upaya kesehatan masyarakat melalui upaya-upaya promotif preventif di desa dan kelurahan. SKM sebagai tenaga kesehatan wajib dan pokok di puskesmas dan pos kesehatan desa atau pos UKM Desa dan kelurahan sebagaimana yang sudah tetapkan di DKI jakarta dan Kabupaten Wonosobo melalui peraturan daerah (perda). Peran SKM di desa dan kelurahan sebagaimana dalam perda yang ada di DKI dan Wonosobo tentang Sistem Kesehatan Daerah, SKM sebagai sebagai ahli kesehatan masyarakat dapat berperan mendesain sistem pembangunan desa terutama bidang kesehatan, sebagai pembina dan pendamping pemberdayaan kader kesehatan dan masyarakat, tenaga/ahli surveilans, promosi kesehatan, gizi masyarakat, sanitarian, administrasi kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja.
Hadirnya Permenkes 33 tahun 2015 tentang pedoman penyusunan perencanaan kebutuhan sumber daya manusia kesehatan menjadi alternatif rujukan baru terkait target rasio tenaga kesehatan per penduduk. Kebijakan baru tersebut mengubah target yang sebelumnya tahun 2010 rasio SKM 49/100.000 menjadi 16/100.000 tahun 2019. Kalaupun dihitung-hitung kembali rasio SKM 16/100.000 maka 1 SKM paling tidak untuk 6.250 penduduk. Artinya jika pakai standar minimal dalam UU Desa jumlah desa minimal 6000 an penduduk maka satu desa setidaknya memiliki 1 SKM.
Tetapi kebijakan tahun 2015 tersebut sebaiknya tidak dijadikan alternatif rekomendasi utama, karena khusus untuk SKM target rasio per penduduk kurang sejalan dengan kajian, studi dan referensi nasional maupun internasional bahwa keberhasilan pembangunan kesehatan (selain pembiayaan) 80% ditentukan oleh tenaga kesehatan baik jenis maupun jumlahnya yang dapat berdampak positif bagi kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Justru yang sebaiknya menjadi rekomendasi pertama ialah target rasio SKM adalah 49/100.000. Hal tersebut sejalan dengan rekomendasi badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) tahun 2010 dalam laporan yang berjudul “The World Health Organization 2010 Global Policy Recommendations – Increasing access to health workers in remote and rural areas through improved retention”yaitu untuk memberdayakan berbagai jenis tenaga kesehatan di daerah.
Fakta dilapangan antara jenis dan jumlah tenaga kesehatan masih belum seimbang, dan justru beberapa jenis profesi tertentu masih menjadi prioritas. Hal inilah yang perlu dibenahi bersama, karena sejatinya tidak ada tenaga kesehatan yang paling signifikan, dan semua tenaga kesehatan memiliki kontribusinya sesuai bidang keilmuanya. Atas dasar latar belakang tersebut program minimal satu SKM satu Desa/Kelurahan untuk Indonesia Sehat masih harus terus diperjuangkan bersama dan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkan rencana mulia pembangunan bangsa yang masih tertunda.
*) Team Public Health 2.0 PERSAKMI
(Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia)